Amati dirimu di cermin! Apa yang kamu dapati tentang dirimu? Kamu
punya wajah. Cantik? Syukurlah. Ganteng? Alhamdulillah. Jerawatan?
Jangan marah. Tapi nggak mau jerawatan? Ya, ampelaslah wajahmu itu jika
kamu nggak pede dengan dirimu. Mungkin karena kamu merasa lebih pede
jika punya wajah selicin porselin yang sering diiklankan di tivi. Tetapi
ingat, itu bisa saja palsu. Bukan dirimu. Kamu mungkin saja bisa
bersandiwara di depan kawan-kawanmu bahwa dengan wajah yang mulus kamu
akan dikagumi temanmu. Tetapi ingat, itu kan bukan dirimu yang asli.
Kamu mengemas wajahmu agar kelihatan manis dan cantik atau ganteng di
hadapan orang lain.
Begitu pun ketika kamu tampil dengan karakter yang bukan dirimu.
Meski kamu berusaha meyakinkan setiap orang bahwa kamu dicitrakan
(digambarkan) sebagai orang yang pinter, tetapi faktanya kamu—maaf,
bloon—ya suatu saat akan ketahuan juga. Meski kamu setengah hidup
menjejali pikiran orang lain bahwa kamu dicitrakan sebagai orang yang
dermawan, tetapi faktanya kamu justru pelit, suatu saat orang akan tahu
jati dirimu yang asli. Itu artinya, kamu hidup di bawah bayang-bayang
bukan dirimu. Tetapi kamu pura-pura bahwa itu dirimu. Duh, hidup kayak
gitu capek, Bro en Sis. Bener lho!
Hidup kayak gitu capek? Bener banget! Lihat deh bapak-ibu yang lagi
berebut suara di berbagai pilkada di tanah air. Mereka berusaha
mati-matian meyakinkan masyarakat agar memilih mereka. Caranya? Membuat
pencitraan. Sederhananya, membuat gambaran tentang diri mereka. Ada yang
tiba-tiba dicitrakan dekat dengan wong cilik dengan harapan masyarakat
melihat dan memiliki imej bahwa orang tersebut pantas untuk memimpin
daerahnya. Padahal dalam kehidupan sehari-harinya, kenyataannya dia
justru dekat dengan wong licik dan doyan korupsi. Ini jelas penipuan.
Bro en Sis pembaca setia gaulislam, banyak orang memanfaatkan
pencitraan dirinya agar terlihat dan terekam dalam benak setiap orang
tentang imej baik dirinya. Sebenarnya pada tahap awal bisa saja benar
dan bernilai positif, jika memang faktanya dia seperti yang dicitrakan
itu. Misalnya, ada orang yang memang baik, suka berbuat baik,
menunjukkan semangat tinggi dalam kerja, sering membantu orang lain dan
beragam kebaikan lainnya. Kemudian ia berusaha menunjukkan jatidirinya
dengan konsisten melakukan semua itu. Maka, secara tidak langsung ia
sedang melakukan pencitraan terhadap dirinya. Itu artinya, yang dia
lakukan adalah mengemas, menguatkan, dan memperbaiki citra dirinya yang
memang sudah melekat erat dalam karakter kepribadiannya. Tetapi jika
pencitraan yang dilakukannya berbeda dengan jati dirinya yang
sesungguhnya, maka itu namanya memalsukan dirinya, menipu bahkan
mengkhianati banyak orang. Bahaya bener, Bro en Sis!
Mencetak ‘ingatan kolektif’
Maurice Halbwachs, sosiolog Perancis pencetus teori ingatan kolektif
menyebutkan bahwa “ingatan kolektif” bukanlah metafora tetapi realitas
sosial, ditransmisikan dan dilestarikan melalui upaya sadar dan
institusi kelompok. Kelompok-kelompok sosial mengkontruksi imaji mereka
tentang dunia melalui versi tertentu masa lalu yang mereka setujui,
versi-versi yang dikonstruksi melalui komunikasi, dan bukan pengingatan
individu, melainkan individu sebagai anggota kelompok. Halbwachs
membedakan antara ingat otobiografis (autobiographical memory) yang
merupakan pengalaman personal, ingat historis (historical memory) masa
lalu yang ‘mati’ dan hanya bisa diketahui melalui catatan sejarah, dan
ingatan kolektif—masa lalu yang ‘hidup’ dan aktif memberi informasi
identitas kita.
BTW, kamu paham maksud paragraf di atas? Nggak? Hehehehe saya juga
ampir aja nggak ngerti. Maklum, ini pelajaran sosiologi jaman kuliah
dulu, jadi kadang lupa-lupa inget. Tapi saya kasih contoh terapannya aja
ya. Begini Bro. Contoh ingatan kolektif adalah ketika kamu dan
kawan-kawanmu ngomongin soal Korea, maka yang teringat secara massal dan
kolektif bahwa saat ngobrolin tentang Korea berarti identik dengan film
drama dan boyband. Mengapa bisa begitu? Karena film drama dan boyband
yang ‘diproduksi’ Korea Selatan tampil konsisten dalam memberikan
pencitraan kepada masyarakat penggemarnya. Coba deh dites sekarang, kamu
pasti hapal juga kan film My Sassy Girl yang menampilkan akting Jun Ji Hyun dan Cha Tae Hyun? Hehehe ini film jadul tahun 2001. Atau My Tutor Friend yang diproduksi tahun 2003 dan disutradarai Kim Kyung Hyung. Drama Korea yang terbaru juga bisa kamu kenal macam Take Care of Us Captain, Salaryman Chohanji, Bachelor’s Vegetable Store
dan film lainnya. Termasuk boyband mereka yag terkenal macam SuJu
(Super Junior). Nah, kalo sampe sekarang kamu inget tentang Korea
berarti inget drama dan boyband, berarti ingatan kolektif kamu dan
remaja lainnya tentang Korea sudah terbentuk.
Sama seperti para ABG (Angkatan Buyut Gue) yang kenal Pak Sukarno
(presiden pertama RI) sebagai bapak revolusi. Saat saya blogwalking,
ketemulah dengan blognya Anton DH Nugrahanto tentang politik pencitraan
para pemimpin Indonesia dari masa ke masa. Khusus tentang ingatan
kolektif, ia menuliskan sebagai berikut contoh seputar politik
pencitraan Pak Sukarno:
Pada tahun 1920-an Sukarno sudah memilih peci hitam sebagai bagian
dari pencitraan kerakyatan, ia menyatukan diri dalam gerakan besar
Melayu, bukan gerakan besar Jawa karena ia melihat bahwa Jawa adalah
subkultur dari akar Melayu. Makanya ia memilih peci. Pemilihan peci ini
dilakukan di Bandung ketika ia melihat tukang sate yang telanjang kaki,
telanjang dada hanya pakai kolor tapi mengenakan peci. Ia melihat banyak
rakyat Djakarta (dulu Batavia) mengenakan peci, peci ini asalnya dari
tarbuz yang banyak dikenakan orang Turki, saat itu sedang ramai gerakan
muda Kemal Pasya yang mengenakan tarbuz sebagai lambang nasional rakyat
Turki.
Tahun 1945 Sukarno memilih baju model safari dengan kantong-kantong
ala perwira, ia reka-reka sendiri model baju ini, kelak rakyat
mengenalnya model ‘Baju Sukarno’ penggunaan baju ini ia ukur dengan
perkembangan suasana batin jaman yang sedang mengalami gejolak revolusi,
dalam masyarakat yang kacau, rakyat banyak butuh pegangan, dan
satu-satunya pegangan yang bisa dijadikan tuntunan adalah “Ingatan
Kolektif” dengan dasar ingatan kolektif inilah Sukarno memerintahkan
Sudiro untuk mencari wartawan foto yang tiap hari harus memoto gaya
Sukarno, foto-foto ini kemudian dijadikan alat hegemoni untuk terus
membangun ingatan kolektif rakyat “ingat Sukarno, ingat revolusi
kemerdekaan”. (http://anton-djakarta.blogspot.com)
Bro en Sis ‘penggemar’ gaulislam, mungkin kamu sekarang juga sedang
berusaha mencetak ‘ingatan kolektif’ bagi kawan-kawanmu, menegaskan
bahwa dirimu adalah begini dan begitu sesuai dengan keinginanmu. Sama
seperti para pemimpin dunia (termasuk pemimpin di negeri ini) atau
pejabat lainnya, atau bisa juga para seleb yang juga melakukan
pencitraan terhadap dirinya agar dikesankan oleh banyak orang sesuai
dengan harapan dan tujuannya. Waduh, pantesan pencitraan kian gencar
menjelang pilkada atau pemilu ya? Meski Pemilihan Presiden masih dua
tahun lagi, tapi kampanye pencitraan sudah dimulai sejak sekarang atau
bahkan hari-hari sebelumnya dengan tujuan untuk membentuk “ingatan
kolektif”. Hmm… sebuah proyek besar tanpa makna jika pencitraan berubah
jadi penipuan.
Citra diri remaja muslim
Remaja muslim adalah remaja taat syariah, remaja pejuang dakwah, dan
remaja yang siap menjadi pemimpin umat di masa depan. Citra diri seperti
ini yang harus diperhatikan dan diupayakan. Bukan citra diri sebagai
remaja hedonis, bukan citra diri sebagai remaja sekular, apalagi identik
dengan remaja doyan maksiat. Naudzubillah, amit-amit tujuh turunan
tujuh tanjakan (capek dong jalannya ya? Hahaha… **apa hubungannya?)
Namun jika melihat kenyataannya, kita wajib prihatin. Banyak remaja
muslim yang minder dengan keislamannya. Mereka berusaha membentuk
identitas lain di luar dirinya, bahkan di luar ajaran Islam sebagai
Din-nya. So, rasa-rasanya benar banget apa yang disampaikan Ibnu Khaldun tentang perilaku bangsa-bangsa yang kalah, “”Yang
kalah cenderung mengekor yang menang dari segi pakaian, kendaraan,
bentuk senjata yang dipakai, malah meniru dalam setiap cara hidup
mereka, termasuk dalam masalah ini adalah mengikuti adat istiadat
mereka, bidang seni; seperti seni lukis dan seni pahat (patung berhala),
baik di dinding-dinding, pabrik-pabrik atau di rumah-rumah.”
Sobat muda muslim, kembali kita tengok judul buletin gaulislam di
pekan ke-237 ini, “Buka Topengmu, Sobat!” Ya, dengan judul ini memang
ingin mengajak (dan sekaligus menyentil) kamu untuk interospeksi, dan
syukur-syukur bisa nyadar. Nggak usahlah dirimu disulap untuk menjadi
orang lain. Dirimu tetaplah dirimu, apa adanya saja. Tak perlu
bersandiwara di depan banyak orang dengan tujuan untuk mendapatkan
simpati atau imej tertentu bahwa kamu begini dan begitu, sementara pada
kenyataannya kamu tidaklah seperti yang kamu citrakan. Bahaya, sobat!
Bisa blunder buat kamu sendiri. Sumpah!
So, tak perlu menggunakan topeng agar terlihat manis kalo
niatnya buat mengelabui orang. Sebab, Kamu yang sejatinya jutek, judes
bahkan sadis bisa ditutupi dengan topeng manis, ramah, dan bahkan baik
hati. Mungkin saja sementara waktu orang bisa ‘tertipu’ dengan
penampilan dirimu, tetapi suatu saat pasti kebongkar juga kan belangnya
dirimu? Mungkin saja kamu bisa menipu banyak orang dengan penampilan
dirimu di balik topeng, tetapi ingat tidak semua orang bisa ditipu.
Siapa tahu malah ada yang berani membongkar keburukanmu yang kamu
sembunyikan di balik topeng indahmu itu. Percayalah!
Maka yang hebat adalah menyulap dirimu jadi muslim sejati, baik
penampilan maupun pikiran dan perasaanmu. Jadikan Islam sebagai jalan
hidupmu. Maka, segala sifat jelekmu akan dikikis dengan Islam. Itulah
sebaik-baik penampilan dengan niat untuk menunjukkan identitas islammu
dengan cara yang benar dan baik untuk menggapai ridho Allah Swt. Amiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar