Sabtu, 18 Agustus 2012

Memilih Kawan Seperjuangan

Perjalanan panjang jihad dan perjuangan menegakkan kalimah Allah di muka bumi, menuntut komitmen, kesungguhan, kerja keras, dan semangat yang tak kunjung padam. Untuk memelihara semangat dalam jangka yang panjang, bukan persoalan sederhana. Hanya orang-orang yang benar-benar sabar, tulus, dan ikhlas saja yang bisa membawa semangatnya hingga dalam waktu yang sangat panjang. Adapun orang-orang yang dalam dirinya masih dikuasai oleh interest, kepentingan pribadi, keluarga dan golongannya, maka orang-orang seperti ini akan mudah putus di tengah jalan.
Demikian pula halnya dengan mereka yang melandasi perjuangannya tidak semata-mata lillahi ta’ala. Di balik perjuangannya masih tersimpan berbagai tujuan, motivasi, dan harapan-harapan lain, selain ridha Allah semata. Orang-orang seperti ini akan mudah tergoda, goyah pendiriannya, dan pada akhirnya akan tumbang di tengah badai dan arus kehidupan materiil yang sedang berkuasa.
Selain mengikhlaskan diri semata-mata karena Allah dalam setiap langkah dan gerak perjuangan, hal penting untuk menjaga semangat tak kunjung padam adalah dengan memilih teman. Dalam perjuangan, memilih teman sangat mutlak dilakukan. Jangan berteman dengan sembarang orang.
Setiap pejuang pasti akan mengalami masa-masa kritis, baik secara moril maupun materiil. Pada saat-saat seperti itu peran teman sangat penting. Jika teman yang menyertainya adalah orang-orang yang lemah, maka dengan sendirinya moral sang pejuang akan jatuh, larut dalam kesedihan, ketakutan, dan kekhawatiran yang tidak semestinya. Nasihat teman pada saat-saat kritis seperti itu sangat menetukan.
Itulah sebabnya Rasulullah berpesan kepada ummatnya:Seseorang itu akan (ikut berada) pada agama temannya. Oleh karena itu, hendaklah salah seorang di antara kamu memperhatikan siapa temannya itu. (HR Tirmidzi)
Sungguh sangat beruntung orang yang memiliki teman yang baik. Ketika kita sedang menghadapi masa-masa kritis, maka sang teman datang memberi hiburan, memberi semangat, spirit, dan menumbuhkan harapan-harapan. Teman baik itu akan mengajak kita untuk tetap bersabar terhadap segala yang menimpa kita. Bukankah Allah selalu menguji hamba-hamba-Nya yang berjihad di jalan-Nya?
Pada saat lapang, teman baik itu juga tetap menyemangati kita untuk tetap waspada, hati-hati menghadapi segala pesona dunia. Teman baik itu akan selalu mengingatkan tentang kehidupan sederhana, peduli pada nasib sesama, dan mengingatkan pula tentang berbagai kewajiban yang harus kita tunaikan sebagai hamba-Nya. Teman yang baik pastilah menjadi patner yang cocok dalam rangka saling berwasiat tentang kebenaran, tentang kesabaran, dan saling berwasiat tentang kasih sayang.
Rasulullah bersabda:Perumpamaan teman yang shalih dengan teman yang buruk itu bagaikan pembawa minyak kesturi dengan peniup api. Pembawa minyak kesturi, baik dia memberimu, atau engkau membeli darinya, engkau akan mendapatkan bau yang harum darinya. Sedangkan peniup api, baik ia akan membakar pakaianmu ataukah engkau akan mendapatkan bau yang busuk darinya. (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Sebelum kita menyesal nanti di akhirat akibat kesalahan kita memilih teman semasa hidup di dunia, maka sejak sekarang kita harus bersungguh-sungguh memilih orang yang bisa kita jadikan teman baik. Jangan sembarang orang, tapi pilih dan saringlah mereka.
Teman yang baik adalah mereka yang bisa mengingatkan kesalahan kita, bukan orang yang hanya bisa memuji dan menyanjung. Teman yang baik adalah teman yang bisa bersama kita pada saat-saat kita menghadapi masa kritis. Mereka masih tetap bersama kita, di kala semua orang meninggalkan kita. Rasulullah saw sendiri selalu memilih-milih teman. Dan adalah Abu Bakar yang akhirnya dipilih menjadi teman sejatinya, termasuk pada saat-saat kritis ketika akan berhijrah ke Madinah.
Abu Bakarlah yang dijaka masuk ke gua Tsur untuk bersembunyi menghindari kejaran musuh. Abu Bakarlah yang akhirnya disebut Ash-Shiddiq, karena ia selalu membenarkan apa saja yang disampaikan Nabi.
Alangkah indahnya persahabatan antara Nabi dan Abu Bakar. Ibaratnya, orang baik berteman dengan orang baik, maka semuanya akan menjadi kebaikan. Sebaliknya, orang jelek berteman dengan orang jahat, maka dapat dipastikan akan melahirkan berbagai tindak kejahatan. Demikian pula orang baik bila berteman orang yang jahat, maka dikhawatirkan kebaikannya akan menjadi berkurang, dan pelan-pelan akan digantikan kejelekan.
Untuk itu, sekali lagi, hindari teman buruk. Sebelum menyesal di hari kemudian, kita tentukan sekarang kepada siapa kita berteman.
Allah berfirman:Dan (ingatlah) hari (ketika) orang yang zhalim menggigit dua tangannya seraya berkata: “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si Fulan itu teman akrab (-ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Quran ketika Al-Quran itu telah datang kepadaku. Dan adalah syetan itu tidak mau menolong manusia. (QS Al-Furqaan: 27 – 29)*
(Sumber: Hidayatullah | PIP PKS-ANZ | pks-anz.org)

Kamis, 09 Agustus 2012

Asyiknya Jadi Pengemban Dakwah

Oleh : hafidz
Jadi pengemban dakwah? Hmm… di mata remaja, sepertinya ‘jabatan' ini kalah menarik dibanding kontes menjadi bintang yang kian menjamur. Meski kagak pake audisi atau ekstradisi yang bikin sensasi, tetep aja remaja yang terjun ke dunia dakwah bisa dihitung pake jari. Padahal untuk jadi pengemban dakwah, nggak kudu bisa nyanyi, nari, atau akting. Cukup bermodalkan keimanan, ilmu, dan kemauan. Sayangnya, justru tiga faktor itu yang lumayan langka ditemuin pada mayoritas remaja yang kian terhipnotis gaya hidup hedonis. Gaswat!

Kalo kita sempet nanya kenapa seseorang nggak atau belum mau ikut berdakwah, pasti mereka segera ngeluarin kunci gembok buat bongkar gudang alasannya. Soalnya mereka juga ngerti kalo dakwah itu wajib. Cuma masalahnya, banyak orang yang ngerasa belon siap ngadepin risiko dakwah. Emang apa sih risiko dakwah?

Itu lho, gosipnya ada anak yang Dijauhin temen lantaran cerewet ngingetin untuk nutup aurat, nggak pacaran, atau antitawuran. Tereliminasi dari kantor saat bawa-bawa aturan Islam ke alam kapitalis di dunia kerja. Diancam skorsing dari sekolah ketika ngotot pengen pake seragam yang nyar'i. Atau malah berhadapan dengan aparat keamanan karena dituding terlibat aksi pemboman. Waduh!

Kebayang kan, kalo berita duka seputar lika-liku aktivis dakwah kayak di atas lebih populer dibanding ridho Allah yang menyertai kegiatan dakwah. Udah pasti bayangan rasa takut bin cemas selalu menghantui pas lagi mujur ada kesempatan untuk berdakwah. Jangankan jadi pengemban dakwah, sekadar menyuarakan Islam aja mungkin malu. Repot juga kalo kayak gini.

Disayang Allah, lho…

Bener sobat. Kita sekadar ngingetin aja, kalo jadi pengemban dakwah udah pasti disayang Allah. Allah swt. berfirman:

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru manusia menuju Allah?” (QS Fushhilat [41]: 33)

Menurut Imam al-Hasan, ayat di atas berlaku umum buat siapa aja yang menyeru manusia ke jalan Allah (al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi ). Mereka, menurut Imam Hasan al-Bashri, adalah kekasih Allah, wali Allah, dan pilihan Allah. Mereka adalah penduduk bumi yang paling dicintai Allah karena dakwah yang diserukannya. Bener kan?

Selain itu, pujian bagi para pengemban dakwah senantiasa disampaikan Rasulullah untuk mengobarkan semangat para shahabat dan umatnya. Seperti dituturkan Abu Hurairah: “Siapa saja yang menyeru manusia pada hidayah, maka ia mendapatkan pahala sebesar yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi sedikit pun pahala mereka.” ( HR Muslim )

Nggak heran dong kalo para shahabat Rasulullah begitu gigih bin pantang menyerah dalam berdakwah. Sebagian besar waktu, tenaga, pikiran, harta-benda, keluarga bahkan nyawa pun rela mereka korbankan untuk dapetin pahala Allah yang melimpah dalam aktivitas dakwah. Kalo nggak begitu, mana mungkin nenek moyang kita dan juga kita mengenal Islam dan menjadi penganutnya. Bener nggak seh?

Dan kita pun bisa seperti para shahabat. Walau nggak hidup di zaman Rasulullah, tapi warisan beliau yang berupa al-Quran dan as-Sunnah tetep eksis sampe sekarang dan terjaga kemurniannya. Tinggal kemauan kita aja untuk serius mempelajari, memahami, meyakini, dan mengamalkan warisan itu. Mau dong? Heu'euh!

Nilai plus lainnya

Bay de wey sobat, ternyata aktivitas dakwah nggak cuma berlimpah pahala. Dari sisi psikologis, aktivitas dakwah sangat membantu remaja untuk mengenali diri dan masa depannya. Asli!

Menurut Maurice J. Elias, dkk dalam bukunya berjudul “ Cara-cara Efektif Mengasuh EQ Remaja ”, ada beberapa hal yang dibutuhkan remaja untuk jalanin tugas di atas.

Pertama , hubungan spiritualitas . Ketika menginjak masa remaja, normalnya kita mulai berpikir tentang makna dan tujuan hidup yang sangat erat kaitannya dengan agama. Karena hal ini bakal membimbing kita dalam jalani hidup dan membingkai masa depan.

Ketika terjun ke dunia dakwah, seorang remaja muslim akan menemukan arti dan tujuan hidup yang hakiki. Dia diciptakan oleh Allah Swt. untuk beribadah sepanjang hayat dikandung badan. Untuk itu, Allah menurunkan aturan hidup yang lengkap en sempurna tanpa cacat cela bagi manusia. Agar manusia bisa beribadah nggak cuma di masjid atau majelis ta'lim. Tapi di mana saja, kapan saja selama terikat dengan aturan Allah. Selain itu, dengan pemahaman ini remaja akan termotivasi dan terarah dalam membingkai masa depan ideal dunia akhirat sesuai identitas kemuslimannya.

Kedua , penghargaan . Setiap remaja kayak kita-kita pasti membutuhkan hal ini untuk mengembangkan potensi dan kemampuan diri. Aktivitas dakwah akan menyalurkan secara positif bakat dan potensi yang kita miliki untuk kebangkitan Islam dan kaum Muslimin di seluruh dunia. Hebatnya, insya Allah kita bakal dapetin juga penghargaan atas prestasi itu langsung dari Allah swt. Hmm… yummy!

Ketiga , rasa memiliki . Remaja seusia kita sering termotivasi untuk bergabung dalam kelompok yang memiliki dan dimiliki kita. Karena di sana kita bisa belajar banyak hal, tambahan informasi, konsultasi gratis, merasa aman, nyaman, dan diterima. Tempat yang tepat jika kita ikut dalam komunitas dakwah. Rasa kebersamaan, sikap empati, simpati, dan pertolongan tanpa pamrih antar individu dalam komunitas ini, lahir dari keimanan. Itu berarti nggak mudah luntur karena perbedaan status sosial atau pendidikan.

Keempat , kecakapan dan kepercayaan diri . Remaja seumuran kita sering terlihat pengen diakui kalo doi cakap alias mampu dan percaya diri untuk jalanin hidup mandiri. Mampu menentukan pilihan atau mengatasi masalah tanpa bergantung kepada orang lain.

Dalam lingkungan dakwah, kita bakal dilatih untuk berpikir panjang merunut setiap permasalahan dan mencari pemecahannya sesuai aturan Islam yang pasti mendatangkan maslahat. Ketegasan sikap kita bisa lahir dari kemandirian yang ditopang oleh pemahaman Islam. Kita juga dilatih untuk mengambil hikmah dalam setiap musibah atau kegagalan yang menimpa kita semua. Karena kita-kita paham, apa pun yang menimpa diri kita, itu adalah jalan terbaik yang Allah berikan. Jadi nggak ada kamus stres bin uring-uringan pas ngadepin masalah bagi para pengemban dakwah. Tetep semangat. Catet tuh!

Kelima , konstribusi . Merasa ngasih kontribusi alias ikut berperan serta, nggak egois bin individualis, atau sikap dermawan sangat penting buat perkembangan identitas yang sehat pada remaja seusia kita. Dengan begini kita-kita bakal terlatih untuk peduli dan peka terhadap permasalahan di sekitar kita. Sehingga kita termotivasi untuk mengembangkan kemampuan diri biar bisa ikut beresin masalah itu.

Dan semua perasaan di atas pasti bakal didapetin kita-kita dalam aktivitas dakwah. Selain bernilai pahala, kita bakal ngerti kalo masalah dunia atau masyarakat juga masalah kita. Kita juga wajib ngerasa bertanggung jawab dengan akibat dan penyebab masalah itu. Karena kita bakal kecipratan dampak buruk masalah itu kalo dibiarin. Betul?

Nah sobat, ternyata nggak ada ruginya kan terjun ke dunia dakwah. Dilihat dari sisi mana aja, jadi pengemban dakwah pasti berlimpah berkah. Masa nggak kepengen?

Nikmati risiko dakwah

Risiko dakwah mah udah sunntatullah atuh alias wajar terjadi. Bayangin aja, yang kita dakwahkan ajaran Islam. Sementara obyek dakwah kita yang di rumah, sekolah, kampus, atau tempat kerja semuanya udah kadung diselimuti aturan sekuler yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam. Otomatis dakwah kita nggak akan berjalan semulus di jalan tol.

Makanya kita nggak usah bermimpi kalo dakwah itu tanpa rintangan. Justru kita kudu siapkan nyali untuk hadapi risiko dalam dakwah demi meraih ridho Allah. Kita bisa contoh 75 orang muslim dari suku Khajraj saat terjadi peristiwa Bai'atul Aqabah kedua. Saat itu salah seorang paman Nabi yang melindungi dakwah beliau meski bukan muslim, bernama ‘Abbas bin Ubadah, mengingatkan kaum muslim dari Khajraj itu akan risiko dakwah yang akan dihadapi jika tetap membai'at Nabi.

Kaum itu pun menjawab, “Sesungguhnya kami akan mengambilnya (membai'at Nabi saw) meski dengan risiko musnahnya harta benda dan terbunuhnya banyak tokoh.” Kemudian mereka berpaling pada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, jika kami memenuhi (seruan)mu, maka apa balasannya bagi kami?” “Surga”, jawab beliau dengan tenang. ( Negara Islam , Taqqiyuddin an-Nabhani)

Nah sobat, ternyata risiko dalam dakwah adalah jalan menuju surga Allah yang selama ini kita rindukan. Seberat apapun jalan itu, kita hanya perlu bersabar dan tetep istiqomah. Abu Dawud telah meriwayatkan sebuah hadis dengan sanad hasan: “Setelah engkau akan datang masa kesabaran. Sabar pada masa itu seperti menggenggam bara api. Orang-orang yang bersabar akan mendapatkan pahala sebagaimana lima puluh orang laki-laki yang mengerjakan perbuatan tersebut. Para shahabat bertanya , “Wahai Rasulullah, apakah pahala lima puluh (laki-laki) di antara mereka?” Rasul menjawab , “Bukan, tetapi pahala lima puluh orang laki-laki di antara kalian”

Kita juga nggak punya alasan untuk berdiam diri membiarkan kemaksiatan merajalela karena khawatir akan dekatnya ajal, seretnya rizki, atau jauhnya jodoh. Soalnya kan yang ngasih rizki adalah Allah. Yang nentuin jodoh kita Allah. Yang nyuruh Malaikat Ijrail nyabut nyawa kita juga Allah. Bukannya semua urusan hidup kita akan terasa mudah kalo kita disayang ama Allah dengan ngikutin perintahNya seperti aktif dalam dakwah?

Pengemban dakwah Islam ideologis

Satu hal lagi yang kita nggak boleh lupa. Bagusnya kita nggak merasa cukup dengan mendakwahkan Islam cuma sebagian. Seolah perbaikan moral atau peningkatan akhlak individu masyarakat menjadi solusi pamungkas dalam setiap permasalahan. Padahal syariat Islam itu begitu luas mencakup solusi dalam permasalahan pemerintahan, ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, dll.

Karena itu kita wajib memahami dan mendakwahkan Islam sebagai Nidzhomul hayah alias aturan hidup yang nggak cuma ngatur ibadah atau akhlak semata. Islam yang memiliki peran sebagai qaidah fikriyah (landasan berpikir) dan qiyadah fikriyah (kepemimpinan berpikir). Sebagai qaidah fikriyah , Islam akan menjadi filter alias saringan sekaligus tameng menghadapi serangan pemikiran dan budaya Barat sekuler. Dan sebagai qiyadah fikriyah , Islam akan membimbing kita dalam menyelesaikan dan mencegah terulangnya setiap masalah hidup yang mampir ke kita dengan tuntas dan berpahala.

Sobat muda muslim, kalo kamu punya nyali, mari kita libatkan diri kita untuk memperkuat barisan perjuangan menegakkan hukum-hukum Allah di muka bumi. Jangan sampe jalan menuju surga dalam aktivitas dakwah, kita pandang sebelah mata. Ntar nyesel lho. Berani? Pasti dong!

Wahai Aktivis Dakwah

Ikhwanul Muslim,
Langkah kalian penggerak jihad
Seruan kalian penggema syari'at
Sikap kalian ciri pemimpin sejati
Yang meninggikan Islam
Di atas Qur'an dan Sunnah

Akhwatush Sholihah
Doa kalian penyangga hati
Izzah kalian penyemangat jiwa
Sikap kalian ciri bidadari
Pendamping para mujahid
Di bawah cinta sang Robbi


Allohu Akbar...Allohu Akbar
Bangunlah wahai aktivis dakwah
Bulatkan tekad, satukan ukhuwah
Pembela umat, eratkan persaudaraan

Allohu Akbar...Allohu Akbar
Bangkitlah wahai aktivis dakwah
Nyalakan semangat, jangan pernah gentar
Hadapi segala rintangan, enyahkan kebathilan

Allohu Akbar...Allohu Akbar
Berjuanglah wahai aktivis dakwah
Jauhi maksiat, tumpas kedzaliman
Penerus perjuangan para tentara Alloh

Allohu Akbar...Allohu Akbar
Bergeraklah wahai aktivis dakwah
Penegak syiar Islam, penggerak sunnah
Bukti cinta para perindu Jannah

Senin, 06 Agustus 2012

Agar Diri dan Liqo Kita Berkah


Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup (Maryam: 31)
Dalam banyak momentum, kita sering mendengar ungkapan: laisat al-’ibrah bi al-katsrah, innamâ bi al-barakah (yang penting bukan banyak, tapi berkah). Ada lagi ungkapan: al-harakah fîhâ al-barakah (keberkahan ada pada pergerakan).
Saya tidak dalam konteks mengemukakan dalil atas dua ungkapan di atas. Akan tetapi, saya hanya ingin menekankan pada kosa kata barakah yang berarti keberkahan.

Menurut dalil-dalil Al-Qur’ân dan Al-Hadîts, banyak sekali hal-hal yang dinyatakan memiliki keberkahan, misalnya Al-Masjid Al-Aqshâ, Allâh –subhânahu wa ta’âlâ- menyatakan bahwa sekelilingnya adalah tempat yang diberkahi oleh-Nya (Al-Isrâ’: 1).
Misalnya lagi adalah Al-Qur’ân, Kitâb Allâh, ia adalah kitab yang Mubârak (diberkahi oleh Allâh –subhânahu wa ta’âlâ). (Al-An’âm: 92, 155), (Al-Anbiyâ’: 50), (Shâd: 29), bahkan bukan hanya Al-Qur’ân yang diberkahi, akan tetapi, malam waktu turunnya yang pertama kali juga merupakan lailatun mubârakatun (malam yang diberkahi oleh Allâh –subhânahu wa ta’âlâ-) (Al-Qadar: Al-Dukhân: 3), malaikat yang membawanya turun juga malaikat yang mubârak, nabi yang menerimanya juga merupakan nabi yang mubârak, umat yang menerimanya adalah ummatun mubârakatun (umat yang diberkahi), tempat turunnya juga merupakan tempat yang mubârak dan semua yang berkaitan dengannya adalah mubârak, sebab memang turun dari Dzât yang tabârak (yang keberkahannya terus bertambah dan bertambah) (Al-Furqân: 1).

Lalu, adakah ayat yang secara eksplisit menjelaskan bahwa di dunia ini adalah manusia yang mubârak? Dan adakah keberkahan manusia itu dapat diupayakan, dalam arti, mungkinkan manusia “biasa” menghiasi diri dengan suatu sifat dan akhlaq tertentu, atau ia melakukan sesuatu, lalu karenanya ia menjadi manusia yang mubârak? Dan jika pertanyaan seperti ini kita bawa kepada liqâ-ât (pertemuan-pertemuan) dan ijtimâ’ât (rapat-rapat) yang manusia “modern” tidak dapat terlepas darinya, adakah di dunia ini liqâ-ât atau ijtimâ’ât yang mubârakah?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ini, marilah kita ikuti potongan dari sebuah surat yang ditulis oleh Ibn Al-Qayyîm kepada Alâ’ al-Dîn, seorang “saudaranya”.
Ibn Al-Qayyîm menulis demikian:

Dengan menyebut nama Allâh, Yang Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang.
Allâhlah Dzat tempat kita meminta Yang Diharap Keterkabulannya. Semoga Dia berbuat ihsân kepada al-akh ‘Ala’ al-Dîn di dunia dan akhirat, menjadikannya orang yang bermanfaat dan membawa keberkahan di mana pun ia berada. Sebab, keberkahan seseorang ada pada:
  • Pengajarannya terhadap segala macam kebajikan di mana pun ia berada, dan
  • Nasehat yang ia berikan kepada semua orang yang ijtimâ’ (berkumpul, rapat) dengannya.
Saat menceritakan tentang nabi ‘Îsâ –’alaihi al-salâm- Allâh –subhânahu wa ta’âlâ- berfirman:
“Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada”. (Maryam: 31)
Nabi ‘Îsâ – ‘alaihi al-salâm- menjadi manusia yang membawa berkah adalah karena ia:


  1. Menjadi guru kebajikan
  2. Juru dakwah yang menyeru manusia kepada Allâh –subhânahu wa ta’âlâ-
  3. Mengingatkan manusia tentang Allâh –subhânahu wa ta’âlâ-
  4. Mendorong dan memotivasi manusia untuk taat kepada Allâh –subhânahu wa ta’âlâ-
Inilah bagian dari keberkahan seseorang, siapa saja yang tidak memiliki hal ini, maka, ia telah kosong dari keberkahan, keberkahan eksistensi dan ijtimâ’ (berkumpul, rapat) dengannya telah dihapus, bahkan, keberkahan orang-orang yang liqâ’ (bertemu) dan ijtimâ’ (berkumpul, rapat) dengannya juga dihapuskan, sebab, ia hanyalah:
  1. Membuang-buang waktu dalam kehidupan, dan
  2. Merusak hati.
Dan semua âfat (bencana, problem, musykilah) yang datang kepada seorang manusia, penyebabnya adalah waktu yang tersia-sia dan hati yang rusak, dan keduanya merupakan akibat dari:
  1. Tersia-sianya “posisi” dia di sisi Allâh –subhânahu wa ta’âlâ-, dan
  2. Turunnya tingkatan dan kedudukan dia di sisi Allâh –subhânahu wa ta’âlâ-
Oleh karena inilah, sebagian masyâyikh berpesan:
“Waspadalah, jangan mukhâlathah (berkumpul, bergaul) dengan seseorang yang menyebabkan waktu terbuang sia-sia dan menyebabkan hari rusak, sebab, jika waktu telah terbuang sia-sia, dan hati rusak, maka segala urusan manusia menjadi berantakan, dan ia termasuk dalam cakupan firman Allâh –subhânahu wa ta’âlâ-:
“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”. (Al-Kahfi: 28).
Dan siapa saja yang mencermati keadaan manusia di bumi ini, ia akan mendapati bahwa mereka – kecuali sangat-sangat sedikit – termasuk dalam kategori:
  1. Orang-orang yang hatinya lalai dari mengingat Allâh –subhânahu wa ta’âlâ-
  2. Orang-orang yang mengikuti hawa nafsu
Akibatnya, segala urusan dan kemaslahatan mereka menjadi tercerai berai, tidak membawa manfaat kepada mereka, bahkan madharatnya malah menimpa mereka, baik urusan di dunia maupun akhirat
Dari kutipan panjang di atas, ada beberapa pelajaran yang bisa kita catat untuk kehidupan dakwah kita sekarang ini, antara lain:
  1. Seseorang dapat menjadi sumber keberkahan, manakala memiliki sifat dan karakter sebagai berikut:
    • Menjadi guru untuk segala macam kebaikan
    • Memberi nasihat kepada semua orang yang ia temui dan yang berkumpul dengannya
    • Menjadi juru dakwah yang mengajak manusia untuk kembali kepada Allâh –subhânahu wa ta’âlâ-
    • Menjadi pengingat manusia agar mereka tidak lalai
    • Memotivasi manusia untuk terus taat kepada Allâh –subhânahu wa ta’âlâ-
  2. Jika seseorang tidak memiliki karakter di atas, maka, ia telah menjadi manusia yang tidak memiliki keberkahan, bahkan keberadaannya menjadi penyebab hilangnya keberkahan.
  3. Suatu liqâ’ atau ijtimâ’ dapat menjadi berkah manakala diisi oleh orang-orang yang memiliki karakter di atas, dan agendanya memang memenuhi criteria seperti itu pula.
  4. Jika suatu liqâ’ atau ijtimâ’ telah kehilangan suasana seperti di atas, maka liqâ’ atau ijtimâ’ itu hanyalah membuang-buang waktu dan merusak hati saja.
  5. Liqâ’ atau ijtimâ’ yang tidak memenuhi kriteria seperti di atas, menjadi penyebab segala urusan dan kemaslahatan berantakan dan berakibat mendatangkan segala macam kemadharatan.
  6. Suatu liqâ’ atau ijtimâ’ bisa saja kehilangan kriteria-kriteria seperti di atas, jika para pengisinya, atau pemimpinnya, atau pesertanya telah jatuh di Mata Allâh –subhânahu wa ta’âlâ-, na’ûdzu billâh min dzâlik.
Surat Ibn Al-Qayyîm ini merupakan surat seorang mujarrib (berpengalaman) yang – insyaAllâh – dengan bashîrah-nya telah memberikan penerangan kepada kita, bagaimana seharusnya kita mengelola liqâ’ât dan ijtimâ’ât kita, agar kita, liqâ’ât dan ijtimâ’ât kita menjadi sumber keberkahan dalam kehidupan di dunia ini yang akan kita nikmati hasilnya di surga nanti, bi-idznillâh, Amin.  ( Oleh: Musyaffa Ahmad Rohim, Lc )

Jumat, 03 Agustus 2012

Kematian Itu Indah


Ada sebuah perbincangan yang menarik antara seorang ustadz dengan jamaah pengajiannya. Sang Ustadz bertanya kepada jamaahnya "Ibu-Ibu mau masuk surga?" Serempak ibu-ibu menjawab "mauuuu…." Sang ustadz kembali bertanya "Ibu-ibu ingin mati hari ini tidak?". Tak ada satupun yang menjawab. Rupanya tidak ada satupun yang kepengen mati. Dengan tersenyum ustadz tersebut berkata "Lha gimana mau masuk surga kalo gak mati-mati".

ustadz itu meneruskan pertanyaannya "Ibu-ibu mau saya doakan panjang umur?" Dengan semangat ibu-ibu menjawab "mauuu…." Pak Ustadz kembali bertanya "Berapa lama ibu-ibu mau hidup? Seratus tahun? Dua ratus atau bahkan seribu tahun? Orang yang berumur 80 tahun saja sudah kelihatan tergopoh-gopoh apalagi yang berumur ratusan tahun".

Rupanya pertanyaan tadi tidak selesai sampai disitu. Sang ustadz masih terus bertanya "Ibu-ibu cinta dengan Allah tidak" Jawabannya bisa ditebak. Ibu-ibu serempak menjawab iya. Sang ustadz kemudian berkata "Biasanya kalo orang jatuh cinta, dia selalu rindu untuk berjumpa dengan kekasihnya, Apakah ibu-ibu sudah rindu ingin bertemu Allah?" Hening. Tidak ada yang menjawab.

Kebanyakan dari kita ngeri membicarakan tentang kematian. Jangankan membicarakan, membayangkannya saja kita tidak berani. Jawabannya adalah karena kita tidak siap menghadapi peristiwa setelah kematian. Padahal, siap tidak siap kita pasti akan menjalaninya. Siap tidak siap kematian pasti akan datang menjemput. Daripada selalu berdalih tidak siap lebih baik mulai dari sekarang kita mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian.

Persiapan terbaik adalah dengan selalu mengingat mati. Yakinkan pada diri kita bahwa kematian adalah pintu menuju Allah. Kematian adalah jalan menuju tempat yang indah, surga. Dengan selalu mengingat mati kita akan selalu berusaha agar setiap tindakan yang kita lakukan merupakan langkah-langkah menuju surga yang penuh kenikmatan.

Hakekat kehidupan manusia adalah sebuah perjalanan kembali menuju Allah. Dalam perjalanan yang singkat ini ada yang kembali dengan selamat, namun ada yang tersesat di neraka. Kita terlalu disibukkan oleh dunia hingga merasa bahwa dunia inilah kehidupan yang sebenarnya. Kita seakan lupa bahwa hidup ini hanya sekedar mampir untuk mencari bekal pulang. Kemilaunya keindahan dunia membuat kita terlena untuk menapaki jalan pulang.

Rasulullah pernah berkata orang yang paling cerdas adalah orang yang selalu mengingat mati. Dengan kata lain orang yang paling cerdas adalah orang yang mempunyai visi jauh ke depan. Dengan selalu mengingat visi atau tujuan hidupnya ia akan selalu bergairah melangkah ke depan. Visi seorang muslim tidak hanya dibatasi oleh kehidupan di dunia ini saja namun lebih dari itu, visinya jauh melintasi batas kehidupan di dunia. Visi seorang muslim adalah kembali dan berjumpa dengan Allah. Baginya saat-saat kematian adalah saat-saat yang indah karena sebentar lagi akan berjumpa dengan sang kekasih yang selama ini dirindukan.

Terkadang kita takut mati karena kematian akan memisahkan kita dengan orang-orang yang kita cintai. Orang tua, saudara, suami/istri, anak. Ini menandakan kita lebih mencintai mereka ketimbang Allah. Jika kita benar-benar cinta kepada Allah maka kematian ibarat sebuah undangan mesra dari Allah.

Namun begitu kita tidak boleh meminta untuk mati. Mati sia-sia dan tanpa alasan yang jelas justru akan menjauhkan kita dari Allah. Mati bunuh diri adalah wujud keputusasaan atas kasih sayang Allah. Ingin segera mati karena kesulitan dunia menandakan kita ingin lari dari kenyataan hidup. Mati yang baik