Oleh: Aidil Heryana, S.Sosi
“Aku prajurit Amerika, seorang warga negara, dan seorang patriot. Tapi dalam tatapan kecurigaan, aku minoritas sesat yang tidak memiliki hubungan inklusif dengan pemerintahan nasional Amerika. Aku hanya seorang muslim.” Demikian Yee menulis di bagian akhir kesaksiannya atas kebrutalan tentara Amerika atas dirinya dan tawanan muslim yang lain.
James Yee adalah seorang mualaf lulusan West Point, akademi militer paling bergengsi di AS. Mulanya, ia adalah pemeluk Kristen Lutheran. Ia memilih untuk memeluk Islam ketika ke Suriah. Setelah lulus dari West Point ia bertemu dengan seorang wanita bernama Huda yang kemudian menjadi istrinya. James Yee lulus dari West Point pada tahun 1990, mengabdi di Angkatan Darat AS selama empat belas tahun, termasuk tugas di Arab Saudi pasca-Perang Teluk I. Setelah memeluk Islam pada tahun 1991, ia belajar Islam dan bahasa Arab di Damaskus- Suriah selama empat tahun. Ia telah dua kali menunaikan ibadah haji ke Makkah.
Pada awal 2001, dia kembali ke dinas militer di tengah sentimen AS yang kuat terhadap Islam pasca tragedi WTC. Di penjara Guantanamo (Gitmo) dia ditugaskan sebagai ulama militer (chaplain) yang melayani seluruh tahanan yang semuanya muslim. Penjara Gitmo yang berada di Kuba adalah tempat meringkuknya tawanan yang dituduh berkomplot dengan Osama bin Laden dan mantan Pasukan Taliban.
Ketika tiba di Guantanamo, Yee menemukan banyak sekali kebrutalan yang dilakukan terhadap orang-orang Muslim yang menjadi tahanan di sana. Namun karena awalnya ia menganggap kebrutalan ini dilandasi oleh ketidaktahuan, Yee justru memandang kondisi ini sebagai tantangan baginya. Yee tidak hanya ingin memberikan pelayanan spiritual kepada para tahanan, namun ia juga ingin mendidik para personel militer AS tentang Islam.
Sayangnya, hal inilah yang menyeretnya ke dalam kubangan
masalah. Karena memperlakukan para tahanan dengan hormat dan bermartabat,
bicara yang baik-baik tentang Islam, serta memimpin kegiatan-kegiatan
keagamaan, Yee malah dipandang sebagai teroris, dipandang sebagai musuh.
Karena James Yee seorang Muslim, ia dicurigai dan
diperlakukan semena-mena olah para prajurit lain. Para prajurit itu mengabaikan
perintah-perintahnya sebagai Kapten Angkatan Darat AS. Ini merupakan tindakan
indisipliner, namun tak ada tindak lanjutnya. Ini membuktikan bahwa seorang
Muslim tidak bisa menjadi tentara sungguhan di AS, apalagi menjadi perwira.
Sebagian besar kebrutalan yang dilakukan terhadap James
Yee dan para tahanan lain di Guantanamo merupakan tanggung jawab Jenderal
Geoffrey Miller, orang yang berkuasa di Guantanamo. Jenderal Miller sepertinya
punya dendam dan kebencian pribadi terhadap Yee dan kaum Muslimin. Entah apa
motifnya.
Keyakinan Kristen Miller sendiri yang radikal dipercaya ikut andil dalam segala tindak-tanduknya di Guantanamo. Namun, sayangnya, James Yee-lah yang menghadapi dakwaan kriminal, buka Miller. Yee-lah yang terpaksa mengundurkan diri, bukannya Miller. Padahal Miller-lah—beserta sejumlah perwira senior lainnya—yang seharusnya dipecat dengan tidak hormat dari dinas militer.
Kekerasan dan perilaku tidak manusiawi yang bertubi-tubi
mengakibatkan beberapa tahanan harus pingsan dan mencoba bunuh diri. Pelecehan
terhadap Islam dipertontonkan oleh para penjaga. Alquran dilempar, ditendang,
diinjak dan dirobek. Lemparan batu juga dilakukan pada tahanan yang sedang
shalat berjamaah. Di Kamp X-ray dan Delta tahanan dipaksa berlutut berjam-jam
di bawah panggangan matahari, sementara kaki dan tangan diborgol. Jika meratap
minta minum, maka para penjaga memberinya tendangan. Tidak hanya itu, tahanan
juga disuruh mandi air kencing dan kotorannya.
Amerika rupanya enggan menerapkan Konvensi Jenewa kepada
tahanan muslim di kamp militer Guantanamo.
Penganiayaan dan pelecehan seksual terhadap tahanan
muslim di Penjara Guantanamo bukanlah isapan jempol. Ratusan orang yang
terkurung di kamp militer Amerika Serikat itu mendapat perlakuan sangat tidak
manusiawi.
James Yee membeberkan kekejaman tentara Amerika di
Penjara Guantanamo berdasarkan kesaksiannya saat bertugas di sana. Pelecehan
dan pembunuhan karakter dialaminya. Hanya karena Yee beragama Islam dan
berusaha berbuat lebih beradab. Juga karena ia seorang imam muslim—dai
(pendakwah)– di lingkungan militer Amerika yang berupaya meluruskan kekeliruan
pemahaman tentang Islam kepada temannya sesama prajurit. Kisah tragis yang
dialami Yee, tentara Amerika keturunan Cina berpangkat kapten ini, berawal dari
masa dinasnya di Guantanamo.
Dalam kurun 10 bulan bertugas di Kamp Delta—sebutan untuk delapan blok penjara itu—ia menjadi saksi kekejaman yang dialami para tahanan. “Bahkan mereka tidak mendapatkan perlindungan seperti yang tercantum dalam Konvensi Jenewa,” papar Yee memberi kesaksian.
Pemerintahan Presiden George W. Bush dan kalangan militer
enggan menerapkan konvensi itu kepada tahanan muslim yang disebutnya sebagai
teroris. Para “pejuang” muslim, musuh Amerika dari berbagai negara, tidak
memperoleh haknya sebagai tahanan perang.
Dapat dipastikan, penganiayaan terhadap tahanan dan
pelecehan kitab suci Al-Qur’an kerap terjadi saat tahanan menjalani
pemeriksaan. Polisi militer di penjara sering menggunakan lembaran Alquran
untuk membersihkan lantai. Aku sering menemukan sobekan lembar Alquran di
lantai. Hampir setiap hari terjadi pertikaian keras antara penjaga dan tahanan
yang berujung penyiksaan. Terkadang prajurit Amerika yang bukan muslim sengaja
membuat keributan selagi tahanan tengah beribadah.
Tak jarang pula tahanan dipaksa meninggalkan shalat untuk
menjalani pemeriksaan. “Lambat laun aku sadar bahwa usahaku untuk memberikan
pengajaran tentang toleransi membuat kecurigaan mereka semakin dalam,” tulis
Yee. Dan siapa pun yang bertugas di kamp itu harus tetap menjaga kerahasiaan
tentang apa pun yang dilihat dan dialami.
Diam-diam, gerak-gerik prajurit yang bertugas pun selalu
diawasi oleh agen rahasia pemerintah, baik dari FBI maupun badan intelijen
militer. Yee yang sejak masuk Islam menambahkan Yusuf dalam namanya, tak luput
dari pengawasan. Hingga akhirnya, Yee diciduk pada 10 September 2003 di Bandara
Jacksonville, Florida.
Selama 10 hari dia dikurung di sel dan diperlakukan seperti tahanan. Diperiksa dengan telanjang, tidak diberi makan, diborgol tangan dan kaki, pengaburan panca indera, serta perlakuan lainnya tanpa mempertimbangkan bahwa dia adalah seorang perwira angkatan darat.
”Mereka tidak peduli pangkatku kapten, lulusan West
Point, akademi militer paling bergengsi di Amerika Serikat. Mereka tidak peduli
agamaku melarang telanjang di hadapan orang. Mereka tidak peduli belum ada dakwaan
resmi terhadapku. Mereka tidak peduli istri dan anak-anakku tidak mengetahui
keberadaanku. Mereka pun jelas tidak peduli kalau aku adalah warga Amerika yang
setia dan, di atas segalanya, tidak bersalah”.
Sejak saat itu, beragam tuduhan dilontarkan untuk
menjeratnya. Pengkhianatan, persekongkolan dengan teroris, hingga isu
perselingkuhan ditebar. Sejumlah koran Amerika sendiri sempat terjebak pada
kekeliruan informasi yang disebar intel.
Mereka menyebut Yusuf Yee sebagai antek Taliban. Isu
perselingkuhan yang sengaja ditebar ke koran nyaris menghancurkan rumah
tangganya. Teror dan fitnah juga dilancarkan agar istrinya juga turut
membencinya.
Istrinya menggenggam pistol di tangan yang satu dan dua
butir peluru di tangan lainnya. “Ajari aku cara menggunakannya,” bisik wanita
itu melalui telepon dari apartemen mereka di Olympia, Washington. Dari semua
hal yang pernah dilalui James Yee—penahanan, tuduhan spionase, 76 hari di
dikurung di sel isolasi—ini adalah yang terburuk.
Rasa takut membadai di dadanya saat bicara di telepon
dengan istrinya. Sebagai seorang ulama militer, Yee telah dilatih untuk
mendeteksi dan mencegah tindakan bunuh diri. Yee tahu bahwa kondisi Huda telah
kritis. Istrinya itu telah menemukan pistol Smith & Wesson miliknya yang
disimpan di tempat tersembunyi di dalam lemari. Huda sudah merencanakan ini.
Yee merasa tak berdaya…
Yang lebih mencengangkan, ada anak di bawah umur dijebloskan ke penjara ini dengan tuduhan sebagai anggota jaringan teroris. Seorang di antaranya adalah Omar Khadir, bocah muslim asal Kanada yang baru berusia 15 tahun.
Kesaksian James Yee ini kian menjelaskan apa yang
sesungguhnya terjadi di penjara-penjara khusus Amerika. Yee menyebutkan, perang
melawan terorisme yang dicanangkan Presiden Bush melahirkan kegilaan di kalangan
militer Amerika. Yee menjadi korban kegilaan itu.
Pengalaman kelam selama lebih dari satu tahun dalam
tahanan militer memberinya pelajaran berharga. Kondisi militer Amerika jauh
dari gambaran ideal Yee. Perbedaan dan kehormatan serta kemerdekaan menjalankan
agama tidak dijamin.
Agama dan keyakinan ternyata masih menjadi masalah utama
di dunia militer negeri yang mengaku demokratis itu. “Mereka tidak
mempertimbangkan bahwa aku adalah seorang prajurit yang setia,” tulis James
Yee.
Kesaksian Yee ini layaknya film drama produksi Hollywood.
Seorang perwira militer Amerika Serikat dijebloskan ke penjara berdasarkan
sangkaan spionase, melakukan pemberontakan, menghasut, membantu musuh, dan
menjadi pengkhianat militer dan negara.
Tapi semuanya tidak terbukti dan akhirnya perwira itu
dibebaskan dari semua dakwaan. Kapten James Yee, perwira itu, mendapatkan
perlakuan tak beradab dari militer AS karena dia beragama Islam dan reaksi
paranoid AS terhadap Islam yang sama sekali tak beralasan.
Tapi publik AS tahu bahwa itu bohong. Sementara
kredibilitas militer AS runtuh akibat kecerobohannya dalam kasus ini. Bahkan
New York Times edisi 24 Maret 2006 menurunkan tajuk rencana berjudul
“Ketidakadilan Militer”.
Meskipun sama sekali bersih dari tuntutan, namun
keinginannya untuk tetap mengabdi pada Tuhan dan negara pupus. Yee “terpaksa”
mundur dari militer pada 7 Januari 2005. Sayangnya, karier militer dan
reputasinya telah lebih dulu hancur. Bahkan hingga kini statusnya masih ‘dalam
pengawasan’.
AS benar-benar paranoid. Siapa pun yang dianggap musuh,
apa pun dilakukan. Tidak peduli itu bertentangan dengan hak asasi manusia,
keadilan konvensi internasional, atau hal lainnya yang selalu digemborkannya
sendiri.
Kasus Yee dan Penjara Guantanamo makin merontokkan citra
AS di mata publik dunia. Kini penutupan penjara Gitmo sedang dipertimbangkan
karena tekanan dunia internasional melalui PBB, termasuk sekutu dekatnya,
Inggris dan Italia. Sekitar 500 tahanan dari 35 negara kini masih meringkuk
dalam penjara itu.
Salah satu pelajaran yang bisa dipetik dari kasus Yee adalah peran media massa. Saat proses penahanan, lengkap sudah penderitaan Yee. Bukan saja dipenjarakan tanpa bukti, namun dia juga telah dihakimi oleh media massa (trial by the press) sebelum pengadilan digelar. Pers AS seperti Washington Post, New York Times, Guardian, Dll. yang mendengungkan hak asasi, justru bersifat tendensius dan tidak cover both sie. Informasi yang disajikan adalah versi militer AS.
Namun keteledoran pers tersebut ditebus dengan kritik
pedas terhadap pemerintah setelah tuduhan terhadap Yee tidak terbukti. Artikel,
tajuk rencana, dan berita-berita yang disuguhkan semuanya berupa pembelaan,
bahkan sebagian media massa minta maaf pada Yee.
Patriotisme Yee musnah di mata pemerintah AS hanya karena
dia sebagai Muslim taat menjalankan tugasnya sesuai ajaran agama dan perintah
negara. Tapi dunia tahu bahwa dia adalah seorang patriot sejati yang hidupnya
diabdikan kepada Tuhan dan negaranya.
Inilah kisah yang mengungkap sisi gelap perang terhadap
terorisme yang berlebihan dan tanpa aturan, yang menebar bahaya di mana-mana
dan mengakibatkan seorang patriot Amerika sejati diperlakukan layaknya musuh.
Bukannya mendapat penghargaan atas jasa-jasanya, Yee malah dihukum. Reputasi
Amerika sebagai negara hukum yang adil ikut tercoreng bersamanya. Kita seakan
muak dengan kebijakan-kebijakan AS di bawah Bush dengan segala tindak-tanduk
primitifnya yang mengacak-acak peradaban dan nilai-nilai kemanusiaan.
Apakah ‘perang melawan terorisme’ yang digagas Amerika
Serikat (AS) benar-benar perang yang ditujukan untuk melawan ekstremisme demi
tegaknya demokrasi? Ataukah label itu hanya bungkus bagi perang melawan Islam?
Para pejabat AS di lingkaran Bush bersikeras bahwa agenda mereka bersifat
politis, bukan religius. Namun faktanya, retorika dan tindak-tanduk AS di
lapangan mengubah perang melawan terorisme menjadi perang melawan Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar